[resensi] Blink : The Power of Thinking without Thinking
Oleh: Togap Siagian
Melihat kandidat tersebut masuk ke ruangan, segera saya berpikir,"Hm, dia bukan kandidat yang cocok untuk pekerjaan ini". Secara logika, saya bisa menjelaskan pikiran saya. Kandidat tersebut, seorang fresh graduate dari sebuah sekolah teknik ternama di Indonesia, berjalan masuk dengan kepala sedikit menunduk dan bahu sedikit membungkuk. Di momen itu saya langsung memberi penilaian kepadanya.
Interview dilanjutkan. Saya didampingi seorang staff senior dari departemen saya dan dua orang staff dari human resources department. Hanya sebentar saja interview dilakukan. Setelah kandidat tersebut keluar dari ruangan interview, kami saling membandingkan catatan kami. Walau ada beberapa kelebihan kandidat tersebut, tetapi kami memutuskan untuk memilih kandidat lain.
Buat saya sendiri, interview itu bisa dikatakan hampir berakhir di saat kandidat tersebut masuk. Tidak mudah bagi saya untuk mengubah penilaian awal saya. Kesan yang saya dapatkan darinya membuat saya berpikir bahwa dia kurang percaya diri, satu karakter yang dibutuhkan untuk posisi yang sedang kosong itu.
Keputusan sekejap mata inilah yang dibahas dengan menarik oleh Malcolm Gladwell dalam buku terbarunya Blink - The Power of Thinking without Thinking. Malcolm adalah juga pengarang buku best seller "The Tipping Point".
Dalam bukunya yang juga menjadi best seller ini, Malcolm memberikan banyak contoh tentang keputusan - keputusan yang diambil berdasarkan perasaan tertentu atau "hunch" seseorang. Hunch tersebut bisa jadi benar atau tidak. Tapi kenyataannya, sering kali keputusan kita diambil berdasarkan perasaan itu.
Salah satu contoh yang menarik adalah kisah tentang sebuah patung yang dibeli oleh museum Getty di Amerika. Patung yang dibeli dengan harga hampir 30 juta dollar Amerika tersebut disebut oleh penjualnya sebagai patung Yunani yang berumur ribuan tahun. Museum Getty memanggil seorang ahli geologi untuk meneliti patung tersebut berdasarkan bahan marmer yang digunakan. Melalui suatu penelitian yang saintifik, ahli geologi tersebut memutuskan bahwa patung tersebut telah berumur ribuan tahun. Museum Getty kemudian memamerkan patung tersebut pada seorang ahli yang kebetulan adalah anggota dewan museum tersebut.
Di sinilah saat "blink" tersebut terjadi. Saat melihat patung itu, ahli tersebut, Frederico Zeri, mendapati dirinya memperhatikan bentuk kuku jari patung itu. Tanpa tahu apa yang salah, Frederico merasakan adanya keanehan pada patung itu. Beberapa ahli lain yang kemudian mendapat kesempatan melihat patung tersebut juga mempunyai perasaan aneh yang mirip. Thomas Hoving, mantan direktur Metropolitan Museum or Art di New York, mengingat saat pertama kali melihat patung itu dia berkata,"It was 'fresh'". 'Fresh' tentunya bukan gambaran yang cocok untuk sebuah patung yang diduga berumur ribuan tahun.
Melalui investigasi diketahui ada berbagai keanehan yang berhubungan dengan kepemilikan patung tersebut sebelumnya. Sayangnya museum telah mengeluarkan jutaan dollar dan terlambat untuk mengubah keputusannya.
Para ahli yang merasakan keanehan saat melihat patung tersebut tidak dapat menjelaskan perasaan mereka. Mereka hanya tahu ada yang tidak sesuai dengan patung yang mereka lihat. Dan mereka mendapatkan perasaan ini hanya beberapa saat setelah mereka melihat patung itu.
Apakah ini berarti bahwa kita harus mempercayai intuisi kita dalam mengambil keputusan penting? Justru sebaliknya. Malcolm menyatakan bahwa kita harus berhati-hati dalam membuat keputusan yang berhubungan dengan hunch itu. Keputusan yang diambil berdasarkan 'hunch' ini bisa menyebabkan kesalahan yang sangat besar. Contohnya yang nyata terjadi dalam sistem demokrasi Amerika Serikat.
Di negara yang menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi utama di dunia, pemilihan presiden menjadi puncak dari pesta demokrasi. Di awal abad kedua puluh, Amerika Serikat memilih Warring Harding sebagai presiden mereka. Harding kemudian hari menjadi salah satu presiden terburuk dalam sejarah negara tersebut.
Mengapa rakyat AS saat itu memilih Harding? Malcolm menunjukkan bahwa tidak ada prestasi khusus yang diperoleh Harding dalam karirnya sebagai seorang politisi. Bahkan, dalam dua perdebatan yang penting saat itu, Harding tidak hadir. Tetapi seperti dituliskan seorang wartawan di masa itu, Harding mempunyai bentuk fisik yang sangat bagus. Bahkan sering kali kata "menyerupai orang Romawi" digunakan untuk menggambarkan kelebihan fisiknya. Cara berbicaranya yang menggunakan tone yang rendah juga menambah ketampanannya. Hal-hal inilah menurut pengarang buku yang menghipnotis para pemilih saat itu.
Sekedar intermezzo. Membaca bagian ini saya teringat dengan SBY. Beberapa tahun sebelum dia mengikuti pemilihan presiden, saya menonton sebuah wawancara dengannya. Saat itu saya berpikir,"Inilah presiden Indonesia berikutnya". Saya yakin, banyak orang yang berpikir sama jika melihat cara SBY berbicara dan mengungkapkan pikirannya. (Kita perlu menunggu untuk menilai keberhasilan SBY sebagai presiden).
Menurut Malcolm, agar dapat menggunakan intuisi ini sebaik-baiknya, kita harus melatih diri kita. Malcolm tidak menjelaskan secara detail latihan yang harus dilakukan untuk meningkatkan intuisi ini. Tetapi dalam bukunya diceritakan tentang beberapa orang yang telah melatih kemampuan mereka sedemikian rupa, sehingga mereka dapat menilai sesuatu secara tepat berdasarkan apa yang mereka rasakan.
Di sisi lain, Malcolm mengingatkan agar kita tidak terjebak dalam analisis yang terlalu luas. Sudah sering kita dengar adagium "paralysis by analysis". Dalam Blink diceritakan bagaimana Van Riper, seorang jenderal marinir, berhasil mengalahkan prajurit AS dalam simulasi perang terbesar di dunia. Simulasi yang dilakukan di awal abad ke-21 tersebut memberi kesempatan buat tentara AS untuk mencoba berbagai teknik pengambilan keputusan canggih yang belum pernah digunakan sebelumnya. Tetapi karena terjebak dalam prosedur dan kegiatan menganalisis data, mereka "kalah" berperang melawan prajurit Van Riper yang diberi ruang untuk berimprovisasi di lapangan.
Aplikasi hal ini tentunya sangat nyata dalam dunia kerja. Sering kali dalam mengambil suatu keputusan yang kritikal, kita terjebak untuk mengumpulkan data sebanyak-banyaknya. Dalam bukunya Blink, Malcolm menegaskan bahwa yang terpenting adalah menggunakan data-data yang diperlukan saja. Seperti para ahli seni yang memperhatikan bentuk kuku patung Yunani tersebut. Atau seperti ahli lain yang hanya memperhatikan ke-'segar'-an patung tersebut. Data yang terlalu banyak malah tidak akan menolong dalam mengambil keputusan. Dengan memperhatikan data-data yang penting saja, keputusan yang diambil akan lebih berarti.
Melihat kandidat tersebut masuk ke ruangan, segera saya berpikir,"Hm, dia bukan kandidat yang cocok untuk pekerjaan ini". Secara logika, saya bisa menjelaskan pikiran saya. Kandidat tersebut, seorang fresh graduate dari sebuah sekolah teknik ternama di Indonesia, berjalan masuk dengan kepala sedikit menunduk dan bahu sedikit membungkuk. Di momen itu saya langsung memberi penilaian kepadanya.
Interview dilanjutkan. Saya didampingi seorang staff senior dari departemen saya dan dua orang staff dari human resources department. Hanya sebentar saja interview dilakukan. Setelah kandidat tersebut keluar dari ruangan interview, kami saling membandingkan catatan kami. Walau ada beberapa kelebihan kandidat tersebut, tetapi kami memutuskan untuk memilih kandidat lain.
Buat saya sendiri, interview itu bisa dikatakan hampir berakhir di saat kandidat tersebut masuk. Tidak mudah bagi saya untuk mengubah penilaian awal saya. Kesan yang saya dapatkan darinya membuat saya berpikir bahwa dia kurang percaya diri, satu karakter yang dibutuhkan untuk posisi yang sedang kosong itu.
Keputusan sekejap mata inilah yang dibahas dengan menarik oleh Malcolm Gladwell dalam buku terbarunya Blink - The Power of Thinking without Thinking. Malcolm adalah juga pengarang buku best seller "The Tipping Point".
Dalam bukunya yang juga menjadi best seller ini, Malcolm memberikan banyak contoh tentang keputusan - keputusan yang diambil berdasarkan perasaan tertentu atau "hunch" seseorang. Hunch tersebut bisa jadi benar atau tidak. Tapi kenyataannya, sering kali keputusan kita diambil berdasarkan perasaan itu.
Salah satu contoh yang menarik adalah kisah tentang sebuah patung yang dibeli oleh museum Getty di Amerika. Patung yang dibeli dengan harga hampir 30 juta dollar Amerika tersebut disebut oleh penjualnya sebagai patung Yunani yang berumur ribuan tahun. Museum Getty memanggil seorang ahli geologi untuk meneliti patung tersebut berdasarkan bahan marmer yang digunakan. Melalui suatu penelitian yang saintifik, ahli geologi tersebut memutuskan bahwa patung tersebut telah berumur ribuan tahun. Museum Getty kemudian memamerkan patung tersebut pada seorang ahli yang kebetulan adalah anggota dewan museum tersebut.
Di sinilah saat "blink" tersebut terjadi. Saat melihat patung itu, ahli tersebut, Frederico Zeri, mendapati dirinya memperhatikan bentuk kuku jari patung itu. Tanpa tahu apa yang salah, Frederico merasakan adanya keanehan pada patung itu. Beberapa ahli lain yang kemudian mendapat kesempatan melihat patung tersebut juga mempunyai perasaan aneh yang mirip. Thomas Hoving, mantan direktur Metropolitan Museum or Art di New York, mengingat saat pertama kali melihat patung itu dia berkata,"It was 'fresh'". 'Fresh' tentunya bukan gambaran yang cocok untuk sebuah patung yang diduga berumur ribuan tahun.
Melalui investigasi diketahui ada berbagai keanehan yang berhubungan dengan kepemilikan patung tersebut sebelumnya. Sayangnya museum telah mengeluarkan jutaan dollar dan terlambat untuk mengubah keputusannya.
Para ahli yang merasakan keanehan saat melihat patung tersebut tidak dapat menjelaskan perasaan mereka. Mereka hanya tahu ada yang tidak sesuai dengan patung yang mereka lihat. Dan mereka mendapatkan perasaan ini hanya beberapa saat setelah mereka melihat patung itu.
Apakah ini berarti bahwa kita harus mempercayai intuisi kita dalam mengambil keputusan penting? Justru sebaliknya. Malcolm menyatakan bahwa kita harus berhati-hati dalam membuat keputusan yang berhubungan dengan hunch itu. Keputusan yang diambil berdasarkan 'hunch' ini bisa menyebabkan kesalahan yang sangat besar. Contohnya yang nyata terjadi dalam sistem demokrasi Amerika Serikat.
Di negara yang menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi utama di dunia, pemilihan presiden menjadi puncak dari pesta demokrasi. Di awal abad kedua puluh, Amerika Serikat memilih Warring Harding sebagai presiden mereka. Harding kemudian hari menjadi salah satu presiden terburuk dalam sejarah negara tersebut.
Mengapa rakyat AS saat itu memilih Harding? Malcolm menunjukkan bahwa tidak ada prestasi khusus yang diperoleh Harding dalam karirnya sebagai seorang politisi. Bahkan, dalam dua perdebatan yang penting saat itu, Harding tidak hadir. Tetapi seperti dituliskan seorang wartawan di masa itu, Harding mempunyai bentuk fisik yang sangat bagus. Bahkan sering kali kata "menyerupai orang Romawi" digunakan untuk menggambarkan kelebihan fisiknya. Cara berbicaranya yang menggunakan tone yang rendah juga menambah ketampanannya. Hal-hal inilah menurut pengarang buku yang menghipnotis para pemilih saat itu.
Sekedar intermezzo. Membaca bagian ini saya teringat dengan SBY. Beberapa tahun sebelum dia mengikuti pemilihan presiden, saya menonton sebuah wawancara dengannya. Saat itu saya berpikir,"Inilah presiden Indonesia berikutnya". Saya yakin, banyak orang yang berpikir sama jika melihat cara SBY berbicara dan mengungkapkan pikirannya. (Kita perlu menunggu untuk menilai keberhasilan SBY sebagai presiden).
Menurut Malcolm, agar dapat menggunakan intuisi ini sebaik-baiknya, kita harus melatih diri kita. Malcolm tidak menjelaskan secara detail latihan yang harus dilakukan untuk meningkatkan intuisi ini. Tetapi dalam bukunya diceritakan tentang beberapa orang yang telah melatih kemampuan mereka sedemikian rupa, sehingga mereka dapat menilai sesuatu secara tepat berdasarkan apa yang mereka rasakan.
Di sisi lain, Malcolm mengingatkan agar kita tidak terjebak dalam analisis yang terlalu luas. Sudah sering kita dengar adagium "paralysis by analysis". Dalam Blink diceritakan bagaimana Van Riper, seorang jenderal marinir, berhasil mengalahkan prajurit AS dalam simulasi perang terbesar di dunia. Simulasi yang dilakukan di awal abad ke-21 tersebut memberi kesempatan buat tentara AS untuk mencoba berbagai teknik pengambilan keputusan canggih yang belum pernah digunakan sebelumnya. Tetapi karena terjebak dalam prosedur dan kegiatan menganalisis data, mereka "kalah" berperang melawan prajurit Van Riper yang diberi ruang untuk berimprovisasi di lapangan.
Aplikasi hal ini tentunya sangat nyata dalam dunia kerja. Sering kali dalam mengambil suatu keputusan yang kritikal, kita terjebak untuk mengumpulkan data sebanyak-banyaknya. Dalam bukunya Blink, Malcolm menegaskan bahwa yang terpenting adalah menggunakan data-data yang diperlukan saja. Seperti para ahli seni yang memperhatikan bentuk kuku patung Yunani tersebut. Atau seperti ahli lain yang hanya memperhatikan ke-'segar'-an patung tersebut. Data yang terlalu banyak malah tidak akan menolong dalam mengambil keputusan. Dengan memperhatikan data-data yang penting saja, keputusan yang diambil akan lebih berarti.