<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d20220754\x26blogName\x3dJurnal+Leadership+%26+Manajemen\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://leadership-id.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://leadership-id.blogspot.com/\x26vt\x3d-4700549560053830481', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Jurnal Leadership & Manajemen

Tuesday, December 27, 2005

Belajar Memimpin

Collin Powell dan Joseph E. Persico

Pada awal karirku di AD Amerika Serikat, aku ditugaskan di Fort Benning, Georgia, dan menjalani Latihan Lanjutan Penerbangan selama satu bulan. Suatu malam, kami harus terjun payung dari sebuah helicopter, sesudah berjalan seharian penuh. Saat itu kami telah kecapaian. Aku adalah perwira senior yang turut di pesawat tersebut. Dalam kebisingan suara mesin heli, aku memerintahkan kepada setiap orang untuk memeriksa ulang tali statis – kabel yang dikaitkan pada lantai, yang akan membuka parasut pada saat kami terjun.

Seperti nenek-nenek cerewet, aku berjalan diantara prajurit-prajurit yang berhimpitan, memeriksa langsung setiap tali. Yang mengejutkan, ada sebuah kait yang longgar. Aku menunjukkan tali yang longgar itu pada wajah orang tersebut. Dia terkejut. Salah-salah dia akan terjun dan jatuh seperti sebuah batu. Dia mengucapkan terima kasih. Pelajaran tersebut jelas. Saat-saat stress, ketidakpastian dan kelelahan adalah saat-saat dimana kesalahan-kesalahan terjadi. Ketika semua dalam keadaan surut, pimpinan harus hati-hati dua kali lipat. "SELALU MEMERIKSA HAL-HAL KECIL" menjadi salah satu peraturanku.

MEMBUAT KEPUTUSAN YANG SULIT
Pada tahun terakhirku di New York City College, aku diangkat menjadi pimpinan kelompok Pershing Rifles, bagian dari kelompok mahasiswa Reserve Officers' Traning Corps. Tahun sebelumnya, team latihan kami telah memenangkan kejuaran biasa dan kejuaraan trick pada kompetisi regional. Aku telah memimpin team latihan saat itu, jadi aku mengambil team biasa dan menugaskan John rekanku untuk memimpin team trick.
Dari awal, aku telah merasa bahwa team trick kehilangan kekuatannya. John, biasanya seorang pemimpin yang baik, menyurut karena masalah pribadinya. Anggota team mengeluh bahwa pikiran John tidak pada pekerjaannya. Aku ingin menugaskan rekan lain untuk team tersebut, tetapi John terus menerus mengatakan "Aku dapat melakukannya". Sayangnya John gagal. Team biasa kami menang tahun itu, tetapi kami kalah pada kompetisi trick. Aku marah, terutama pada diriku sendiri. Aku telah mengecewakan team dan John juga, dengan membiarkannya terus berjalan dengan dasar yang belum siap. Hari itu, aku belajar bahwa SEBAGAI PEMEGANG WEWENANG, BERTUGAS MEMBUAT KEPUTUSAN, TIDAK MASALAH BETAPAPUN SULITNYA. JIKA ADA YANG SALAH, PERBAIKI. Seorang pimpinan tidak dapat membuat pengorbanan besar dalam situasi yang buruk hanya karena demi perasaan seseorang.

JANGAN MENGHUKUM SETIAP KESALAHAN
Dalam salah satu tugas pertamaku, sebagai Perwira Muda Infantry, aku dikirim ke Infantry ke 48 dekat Frankfurt, Jerman. Saat itu, senjata utama kami adalah Meriam Atom 280 mm. Dikawal oleh regu-regu infantry, meriam-merian tersebut terus menerus dipindah-pindahkan disekeliling hutan diatas truk, sehingga pihak Soviet sulit mengetahui posisi dari meriam tadi. Suatu hari Kapten Tom Miller menugaskan reguku untuk mengawal sebuah meriam tersebut. Aku mempersiapkan anak buahku, dan mengendarai jeep-ku. Aku belum jauh ketika kusadari pistol 45ku hilang. Aku terkejut. Di AD, kehilangan senjata adalah masalah serius. Aku tidak punya pilihan lain kecuali menghubungi Kapten Miller di radio dan memberitahukan kehilangan tersebut. "Apa ?!?" katanya tidak percaya. Dia berhenti sejenak, kemudian menambahkan "Baiklah, teruskan misimu". Ketika aku kembali, bimbang menghadapi keputusan untukku, Kapten Miller memanggilku. "Aku punya sesuatu untukmu", katanya memberikan pistolku."Beberapa anak di desa menemukannya pada saat terjatuh dari kantung pistolmu". "Anak-anak menemukannya ?" Aku merasa terkejut sekali. "Yeah", katanya, "Untungnya mereka hanya menembakkan satu peluru sebelum kami mendengar suara tembakan dan mengambil pistol itu". Kemungkinan bahaya yang ditimbulkan membuatku lemas. "Demi Tuhan, Nak, jangan membiarkan hal itu terulang lagi".

Dia menjalankan mobilnya. Aku memeriksa magazen pistolku dan ternyata masih penuh. Pistol tersebut belum ditembakkan sekalipun. Kemudian aku mengetahui bahwa pistol itu terjatuh ditendaku sebelum aku berangkat. Kapten Miller telah mengarang cerita tentang anak-anak desa agar aku khawatir dan berhati-hati sekali. Pada saat sekarang AD mungkin akan melakukan penyidikan, memanggil pengacara, dan kemungkinan besar akan memberikan tanda buruk pada catatanku. Kapten Miller memberiku kesempatan untuk belajar dari kesalahanku.

Contoh yang diberikannya untuk kepemimpinan yang rapi tidak terhilangkan padaku. TAK SEORANGPUN NAIK KEPUNCAK TANPA PERNAH TERGELINCIR. Jika seseorang melakukan kesalahan, aku merasa tidak perlu menendangnya sebagai hukuman. Falsafahku adalah : Angkat mereka, bersihkan, dan gerakkan kembali.

BUATLAH TEAM-MU MERASA PENTING
Ketika aku menjadi ajudan batalyon dari suatu unit baru, pekerjaanku adalah menangani personel, surat dan "semangat dan kesejahteraan". Komandan-ku adalah Kolonel William C. Abernathy, yang menugaskan pasukan bekerja untuk keras tetapi juga membuat mereka bersemangat tinggi. Suatu hari, kolonel memintaku menyiapkan suatu sistem surat "Selamat Datang Bayi". Setiap prajurit yang istrinya melahirkan, akan menerima surat pribadi dari Komandan Batalyon yang memberi selamat kepada mereka. Surat kedua disampaikan kepada si bayi langsung. Abernathy memintaku agar surat-surat ity dikirimkan pada hari bayi tesebut dilahirkan.

Aku tidak antusias menjalankan tugas tersebut dan berlambat-lambat mempersiapkan sistem tadi. Ketika Abernathy mengetahui hal tersebut, dia menegurku dengan keras. Aku kembali ke kantorku dan mengerjakannya sebaik mungkin. Luar biasa, kami mendapat feedback yang positif. Para prajurit sangat terkesan dengan perhatian dari Abernathy. Para ibu menulis mereka merasa sangat dihargai dianggap sebagai bagian dari kehidupan AD suami-suami mereka. Sebuah pelajaran baru didapat dan dicatat. CARILAH CARA UNTUK TURUN KE BAWAH DAN MENYENTUH SETIAP ORANG PADA SUATU UNIT. BUAT MEREKA MERASA PENTING DAN MENJADI BAGIAN DARI SESUATU YANG LEBIH BESAR DARI DIRI MEREKA.

JANGAN PERNAH MENGECILKAN ANTUSIASME. Saat itu Pk.01.00 suatu pagi yang dingin di bulan April. Aku adalah Letnan Kolonel yang membawahi suatu batalyon dalam suatu latihan di Korea. Selama seminggu, kami tidur disiang hari dan latihan di malam hari. Latihan berakhir. Para prajurit menunggu diangkut oleh truk kembali ke camp. Aku menerima berita bahwa Divisi kekurangan BBM untuk mengangkut batalyon kembali sejauh 20 mil ke camp. Kami harus berjalan kaki. Para prajurit dengan kesusahan berdiri dan mulai berjalan, terlalu capai untuk mengeluh. Kami sedang melalui suatu desa Korea, ketika Kapten Harry "Skip" Mohr melambat untuk berbicara padaku. "Hanya tinggal 12 mil lebih sedikit", katanya bersemangat. "Jika kita berjalan cepat, kita dapat menyelesaikannya dalam 3 jam, dan kemudian meminta kualifikasi untuk E.I.B. (Expert Infantryman Badge (Badge / Tanda Infantry Ahli)"

Mohr mengetahui aku sedang mencoba memasukkan sebanyak mungkin prajurit untuk mendapatkan EIB, yang biasanya didapat oleh kurang dari satu diantara lima orang infantry. Kami telah memenuhi persyaratan latihan fisik, di samping pembacaan peta, navigasi dan test lainnya. Rintangan yang tersisa hanya pendakian 12 mil dalam 3 jam. Aku melihat medan yang turun naik. "Skip, kamu bercanda" kataku padanya. "Pak, medan relatif datar hingga 2 mil terakhir. Saya mengetahui orang-orang kita. Mereka dapat melakukannya". Perintah untuk berjalan sesuai irama terdengar di sana sini. Dalam dua jam kemudian, parka terbuka, keringat mengucuri wajah pada malam yang beku, dan gerakan dan bunyi nafas dari ratusan orang terdengar seperti angin. Kami menghadapi satu bukit curam terakhir sebelum masuk ke camp. Aku tidak mengetahui bagaimana orang-orang tersebut akan melakukannya.

Kemudian disebelah depan atas, aku mendengar suara-suara orang menghitung irama, hingga bukit seakan bernyanyi nyanyian batalyon. Ketika kami melalui gerbang memasuki camp, Komandan Jenderal keluar dari ruangannya mengenakan baju mandinya, keheranan ketika 700 orang lewat dihadapannya. Lebih banyak prajurit yang memenuhi kualifiaski EIB dari batalyon kami diantara 3 batalyon yang berdekatan. Dan pemandangan dari prajurit yang kelelahan yang kemudian meleburkan diri menjadi suatu kesatuan yang bersemangat adalah sebuah kenangan yang berharga dalam hidupku.

Selama bertahun-tahun dilapangan, aku mempelajari bagaimana prajurit AS bergerak. Mereka akan menggerutu jika diberi beban berat. Mereka akan besumpah lebih merasa senang berada ditempat lain. Tetapi pada sore hari, mereka akan bertanya dengan bangga "Baikkah apa yang telah kami lakukan?" Mereka menghormati PIMPINAN YANG MEMBERI MEREKA STANDAR YANG TINGGI DAN MEMBAWA MEREKA HINGGA BATAS KEMAMPUAN - selama mereka meilihat adanya tujuan yang berharga bagi mereka. (300501)

(Collin Powell dan Joseph E. Persico, Learning To Lead. Reader's Digest, August 1996. Diringkas dari "My American Journey", Collin Powell, Diterbitkan oleh Random House Inc. New York. Artikel ini diambil dari milis HRI)